SURABAYA, –Kebebasan pers di Indonesia telah melalui perjalanan panjang yang penuh tantangan, mulai dari masa Orde Baru hingga era Reformasi dan masa kini. Meskipun telah terjadi perbaikan setelah jatuhnya Orde Baru, berbagai bentuk pembatasan terhadap pers masih terus terjadi.
Era Orde Baru (1966–1998)
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, pers berada di bawah kendali ketat pemerintah. Berbagai pembatasan dilakukan untuk menjaga stabilitas politik dan mempertahankan citra positif rezim.
Pembredelan Media: Pemerintah menutup media yang dianggap kritis, seperti Tempo, DeTik, dan Editor pada tahun 1994.
Sensor Ketat: Berita yang tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah atau mengkritik kekuasaan dilarang diterbitkan.
Tekanan dan Intimidasi: Jurnalis yang kritis sering kali mendapat ancaman, intimidasi, bahkan penangkapan.
Kontrol Melalui Regulasi: Penerbitan pers harus memiliki Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), yang dapat dicabut kapan saja.
Era Reformasi (1998–Sekarang)
Setelah jatuhnya Soeharto, kebebasan pers mulai tumbuh dengan adanya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Namun, berbagai tantangan baru muncul.
Pembatasan dan Ancaman Kontemporer:
Kekerasan dan Intimidasi Jurnalis: Masih banyak kasus jurnalis yang mengalami kekerasan saat meliput, termasuk ancaman dari aparat atau pihak tertentu.
Tekanan Hukum: Pasal-pasal dalam UU ITE sering kali digunakan untuk menjerat jurnalis atau media yang dianggap mencemarkan nama baik pihak berkuasa.
Intervensi Politik: Beberapa media terlibat dalam kepentingan politik tertentu, sehingga independensi pers terancam.
Sensor Digital: Pemerintah semakin aktif melakukan pemblokiran situs berita atau media yang dianggap menyebarkan “konten negatif.”
Kesimpulan:
Meskipun kebebasan pers di Indonesia telah berkembang pesat sejak Reformasi, ancaman dan pembatasan masih nyata hingga saat ini. Perlu komitmen dari berbagai pihak, termasuk pemerintah dan masyarakat, untuk menjaga pers sebagai pilar demokrasi yang bebas, independen, dan bertanggung jawab. (Red)
Artikel :”AHY Wiro Sableng”