Surabaya, 19 Juni 2025 – Proses eksekusi rumah yang berlokasi di Jalan Dr. Soetomo No. 55 Surabaya oleh Pengadilan Negeri Surabaya pada Kamis pagi menjadi sorotan tajam dari berbagai elemen masyarakat. Dua organisasi sipil, Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jawa Timur dan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Jawa Timur, hadir langsung di lokasi dan menyuarakan keberatan mereka atas tindakan yang dinilai sarat ketimpangan hukum dan berpotensi melanggar hak asasi manusia.
Eksekusi yang berlangsung sejak pukul 08.00 WIB itu dikawal ketat oleh aparat keamanan. Namun, kehadiran aparat dalam jumlah besar justru memicu reaksi dari GRIB dan MAKI yang menilai bahwa kekuatan negara digunakan secara berlebihan dalam menghadapi warga sipil.
Ketua GRIB Jatim, Achmad Miftachul Ulum, menyatakan bahwa pihaknya datang bukan untuk menantang aparat kepolisian, melainkan untuk mengawal proses yang dinilai cacat keadilan.
“Kami hadir dalam kapasitas sebagai pembela keadilan rakyat. Tapi apa yang kami saksikan di lapangan sangat timpang. Jumlah aparat dikerahkan begitu besar, sementara warga hanya ingin mempertahankan hak atas rumah yang telah mereka huni selama lebih dari enam dekade,” ujar Ulum .
Ulum juga mengungkapkan adanya dugaan kekerasan oleh aparat kepada warga, termasuk upaya pembubaran paksa yang tidak mengindahkan etika perlindungan sipil. Ia menegaskan akan membawa kasus ini ke Propam Polri dan Komnas HAM untuk ditindaklanjuti secara hukum dan etik.
Sementara itu, Heru, perwakilan MAKI Jatim, menyoroti kejanggalan dalam proses hukum yang mengarah pada eksekusi ini. Ia menyebut, pemilik rumah sebelumnya telah memenangkan beberapa kali gugatan hak milik di pengadilan. Namun, tiba-tiba pada eksekusi terakhir ini, semua fakta hukum tersebut seolah diabaikan.
“Panggilan terakhir diberikan hari ini dan langsung dilakukan eksekusi. Ini sangat tidak lazim. Rumah ini sudah dihuni selama 63 tahun oleh pemilik sahnya. Kami menduga ada manipulasi atau rekayasa proses peradilan yang harus diungkap,” tutur Heru.
MAKI menegaskan akan melakukan langkah hukum lanjutan untuk meninjau ulang proses eksekusi dan meminta evaluasi terhadap majelis hakim yang menangani perkara ini. Heru bahkan menyebut kasus ini bisa menjadi simbol ketimpangan hukum jika tidak ditangani secara transparan.
“Ini bukan hanya soal bangunan fisik, tapi soal keadilan, soal nasib rakyat kecil yang bisa sewaktu-waktu disingkirkan dengan dalih hukum. Kalau tidak dikawal, ini bisa jadi kasus ‘perosotan’ jilid dua,” tegasnya.
Ketegangan sempat terjadi di lokasi saat aparat berusaha membubarkan warga dan aktivis yang menolak eksekusi. Namun, situasi akhirnya mereda setelah GRIB dan MAKI mengimbau anggotanya untuk tidak terpancing provokasi.
Peristiwa ini membuka kembali perdebatan publik mengenai tata kelola proses eksekusi dalam sistem peradilan Indonesia. Publik kini menanti sikap dari Komnas HAM, pengawas internal kepolisian, serta Mahkamah Agung untuk merespons protes yang muncul dari masyarakat sipil.(Yud)










