Jakarta Panggung politik nasional kembali diramaikan dua dinamika besar yang berjalan beriringan namun sarat ketegangan: proses hukum terhadap Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, dan desakan sejumlah purnawirawan TNI untuk memakzulkan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Pada 3 Juli 2025, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara resmi menuntut Hasto dengan pidana penjara selama tujuh tahun, denda Rp600 juta, dan biaya perkara sebesar Rp7.500. Hasto dianggap terlibat dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan alat komunikasi yang menyeret beberapa pihak di lingkungan kementerian.
Tuntutan ini menjadi babak penting dalam kasus yang telah bergulir sejak akhir 2024. Namun tim kuasa hukum Hasto, yang dipimpin Todung Mulya Lubis, menyatakan kecewa. Mereka menilai tuntutan tidak berdasar dan sarat muatan politik. “Kami berharap klien kami dituntut bebas karena tidak cukup bukti. Ini bentuk kriminalisasi,” ujar Todung dalam keterangan pers.
Namun, kritik juga diarahkan pada tim pembela yang dinilai lebih sibuk membentuk opini publik ketimbang fokus pada strategi hukum di pengadilan. Beberapa pengamat menyebut langkah ini berisiko mencampuradukkan proses peradilan dengan panggung politik.
Di sisi lain, krisis politik turut memanas di luar gedung pengadilan. Forum Purnawirawan TNI menggulirkan isu pemakzulan terhadap Wakil Presiden Gibran. Dalam sebuah pernyataan kontroversial, Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto bahkan menyebut kemungkinan “menduduki MPR” jika aspirasi mereka diabaikan.
Pernyataan ini memicu pertanyaan: kepada siapa tekanan itu ditujukan, dan apa basis konstitusional desakan tersebut? Nama mantan Wapres Try Sutrisno sempat dicatut sebagai bagian dari forum, namun belakangan tidak lagi muncul dalam pernyataan resmi. Banyak yang menduga Presiden Prabowo Subianto telah mengambil langkah strategis meredam ketegangan melalui pendekatan personal terhadap para purnawirawan.
Menariknya, di tengah sorotan dan tekanan, Gibran memilih bersikap tenang. Ia tetap menjalankan tugasnya sebagai Wapres tanpa mengeluarkan pernyataan provokatif, bahkan menunjukkan sikap hormat kepada para seniornya. Sikap ini dinilai sebagai bentuk kedewasaan politik yang kontras dengan suasana riuh di luar.
Sementara itu, Presiden Joko Widodo, yang menjadi titik perhatian dalam dinamika ini, terlihat mengambil jarak. Ia dikabarkan tengah berlibur bersama keluarga di Bali, seolah memberi pesan bahwa badai politik bukan alasan untuk meninggalkan kehidupan pribadi.
Dua arah krisis ini—hukum dan politik—mencerminkan gejolak transisi di Indonesia pasca Pemilu 2024. Hasto berada di bawah sorotan hukum, sementara Gibran di bawah tekanan politik. Keduanya menjadi simbol dari ketegangan antara lembaga, kekuasaan, dan kelompok kepentingan yang tengah mencari posisi di era pemerintahan baru.
Pertanyaannya kini: apakah krisis ini akan mereda melalui jalur hukum dan dialog politik, atau justru menjadi pemantik bagi ketegangan yang lebih luas?
Satu hal yang pasti, republik ini sedang menghadapi ujian integritas—baik dalam penegakan hukum maupun dalam menjaga marwah demokrasi.(Yud)